Sabtu, 08 Desember 2012

Informasi Salon Plus Malang

Rekan-Rekan berada dalam artikel : Informasi Salon Plus Malang
selamat membaca dan menikmati semoga bisa
menambah semangat sobat2 menghadapi hari demi hari....

Untuk sementara waktu artikel tentang : Informasi Salon Plus Malang
sedang kami edit ulang untuk kepuasan smua pengunjuang blog.
setelah lengkap dan akurat segera kami posting kembali
artikelnya, trims sebelumnya

Untuk pengganti sementara artikel yang sobat2 cari, admin ganti
dengan cerita plus dibawah ini ya...
semoga ceritanya bisa menghibur sobat-sobat...

Selembut Sutra

TAMAN RIA Remaja Senayan. Air membentang seluas mata memandang. Perahu-perahu
hilir mudik dengan berbagai bentuk. Kebanyakan berkepala bebek. Penumpang-penumpangnya
bermacam-macam. Ada keluarga. Terdiri Bapak, Ibu dan anak-anaknya. Atau pasangan-pasangan
yang sedang berpacaran. Wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan. Ada yang
senyum, tertawa cerah. Atau bercanda ria.

Memang demikianlah halnya kebanyakan pengunjung-pengunjung Taman Ria ini.
Kebanyakan menampakkan wajah gembira. Ceria. Namun di antaranya, ada seorang
yang tidak menampakkan wajah gembira. Benny ! Dia duduk di atas rerumputan
pebukitan yang memanjang. Matanya memandang ke depan. Sebentar meredup, sebentar
membola. Seperti ada golakan di dalam hatinya. Seperti gelombang yang menderu-deru.
Tiap sebentar menghela napas panjang!

Langit cerah. Awan-awan putih bergumpal-gumpal di sela-sela langit biru. Benny
merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Kedua lengannya disilangkan di bawah
kepala. Lama dia memandang langit. Tetapi langit bagai tak tampak. Yang terlihat
olehnya, bayangan kabut. Bergumpal-gumpal. Di antara kabut itu, bagaikan
menyembul seraut wajah. Perempuan. Cantik. Dan tik. Dan Benny menarik napas
panjang lagi. Seraut wajah itu tersenyum. Manisnya. Lebih manis dari pada gula
atau segala yang paling manis di dunia ini. Benny memejamkan matanya. O,
kesalnya dia. Tak ingin sebenarnya dia menyaksikan seraut wajah itu. Tetapi
wajah itu seperti mengejarnya. Wajah Lisa. Wajah seseorang yang dicintainya.

Benny membuka matanya lagi. Secara jujur, Benny, pemuda yang berusia sekitar dua
puluh empat tahun itu, harus mengakui, bahwa dia sangat mencintai Lisa. Belum
pernah sebelumnya, Benny mencintai seseorang, seperti besarnya kecintaannya
kepada Lisa, Tetapi sekarang! Cinta yang besar itu telah berobah menjadi
kebencian. Kebencian amat sangat. Benny merentak. Setengah menyentak, dia bangun
dari sikap berharingnya. Berpaling ke kiri dan meludah. Dan . . . tiba-tiba mata
Benny bentrok dengan mata seseorang. Seorang perempuan.

Benny terperangah. Sejak kapan perempuan itu duduk di situ. Benny tidak
melihatnya pada beberapa menit yang lalu. Perempuan itu, berwajah tirus dengan
sepasang mata bola yang indah, dengan rambut dibiarkan tergerai pada bahunya,
masih saja memandang Benny. Umurnya sekitar tiga puluh tahun. Sendirian ! Benny
menelan ludah! Uf! Mata yang indah. Duduk dengan sikap agak sembarangan,
sehingga ujung roknya tersingkap. Dan menyembullah pahanya yang memutih penuh !

Benny segera menarik pandangnya dan melemparkannya ke arah lain. Uf! Persetan
dengan perempuan. Walau bagaimanapun cantiknya. Tentu dia tidak berapa jauh
dengan Lisa! Benny memandang langit. Tetapi . . . mata perempuan itu sangat
indah . . . Lebih indah dari pada mata Lisa. Secara naluriah. Benny berpaling
lagi ke kiri. Dan lagi-lagi matanya bentrok. Uf! Perempuan itu membalas senyum
Benny. lni benar-benar di luar dugaan. Dan Benny berpikir, perempuan itu cuma
sendirian. Hmm! Benny mengangguk. Dan hati Benny jadi mengembang, bila perempuan
itupun itu pun membalas mengangguk.

“Aku tidak boleh ge-er!” ujar Benny dalam hati. “Aku tidak boleh mengharapkan
terlalu banyak. Cukuplah bila bisa ngobrol-ngobrol. Dia sendiri. Dan akupun
sendiri. Lumayan menjadi teman ngobrol!”

Berpkir demikian, Benny menunjuk dirinya, kemudian menunjuk perempuan itu.
Maksudnya, Benny menanyakan. bagaimana kalau Benny menemani perempuan itu duduk.
menikmati alam indah Taman Ria. Perempuan itu tertawa kecil sambil mengangguk.
Dan Benny tentu saja tidak ingin membuang-buang waktu. Segera dia berdiri dan
menghampiri perempuan itu.

“Tidak mengganggu?!” tanya Benny sambil duduk di sisi perempuan itu.

“Senang sekali dikawani!” jawab perempuan itu.

“Sendirian?” tanya Benny.

“Seperti yang kamu lihat!” kata perempuan itu sambil mengerling. Kemudian
melanjutkan: “Sebenarnya saya menunggu seseorang.”

“Pacar?!”

“Belum bisa dikatakan begitu. Hanya kawan biasa. Dan kamu?!” tanya perempuan itu,
yang tahu betul bahwa Benny jauh di bawah umurnya.

“Saya memang datang sendirian,” ujar Benny.

“Nggak sama pacar?!” tanya perempuan itu sambil terscnyum.

“Saya . . . eh, belum punya pacar.”

“Bohong!” kata perempuan itu spontan.

“Kenapa Mbak menuduh saya bohong?!” Benny mengernyitkan keningnya.

“Umur kamu berapa?!”

“Dust puluh empat!”

“Dua puluh empat tahun, belum punya pacar. Siapa yang mau percaya!”

“Tetapi saya betul-betul belum punya pacar!” jawab Benny. Padahal dalam hati,
Benny sangat menyesali ucapan mulutnya. “Aku bohong, Mbak. Aku sebenarnya punya
pacar. Tetapi aku sebel sama dia!”

“Nama kamu siapa?!”

“Benny. Dan nama Mbak?!”

“Aningsih.”

“Ya. Kenapa?!”

“Nggak apa-apa! Nama yang manis!”

Perempuan itu tertawa kecil sambil memukul bahu Benny. “Uf kamu ini! Baru ketemu,
sudah merayu!”

“Saya nggak merayu, Mbak. Nama Mbak memang manis, seperti orangnya. Cantik.
Llncah. Dan ketawa Mbak itu, lho!”

“Memangnya kenapa dengan ketawaku?!”

“Manisnya nggak ketulungan!”

Perempuan itu ketawa lagi. ketawa lagi !

“Makin manis saja,” kata Benny.

Perempuan itu, yang menyebutkan namanya Aningsih, memukul bahu Benny. Ganti
Benny yang ketawa-ketawa senang.

“Kamu seharusnya sudah punya pacar.”

“Nggak ada perempuan yang mau sama saya.”

“Bohong! Kamu ganteng! Pasti banyak perempuan yang mau sama kamu!”

“Sungguh kok, Mbak,” kali ini Benny bicara lebih serius. Dicabutnya sebatang
rumput yang tumbuh di hadapannya. Digigitinya ujungnya sampai hancur. Kemudian
dilemparkannya. Lalu berkata dengan suara lebih perlahan: “Tak ada perempuan
yang mau sama saya!”

“Mengapa kamu beranggapan demikian?!”

“Kenyataannya memang begitu.”

“Jangan-jangan kamu sendiri yang jual mahal. Sebenarnya banyak perempuan yang
mau sama kamu. Tetapi kamu sombong. Tidak memandang sebelah mata pada mereka!”

“Tidak begitu, kok!” jawab Benny. “Saya biasa-biasa saja!”

“Kalau kamu biasa-biasa saja pasti sudah punya pacar!”

Benny mencabut lagi sebatang rumput, menggigitnya, kemudian membuangnya lagi
jauh-jauh. “Saya memang pernah punya pacar. Kan saya sangat mencintainya. Tetapi
. . . ” terputus ucapan Benny.

“Tetapi mengapa . . . ?!” bertanya Mbak Ning antusias. Rupanya dia ingin tahu.
Benny mencabut lagi sebatang rumput. Seperti tadi, digigitnya, kemudian
dilemparkannya jauh-jauh.

“Putus, Mbak.”

“Mengapa putus?!”

Benny diam. Memandang ke arah danau. Mbak Ning juga memandang ke arah danau,
lalu kembali pada Benny. “Mengapa putus?!” Mbak Ning mengulangi pertanyaannya.

“Barangkal sudah begitu nasib saya!”

“Pasti kamu yang memutuskan. Kamu sudah bosan sama dia. Kamu kepingin ganti
pacar lain. Maka kamu mencari gara-gara!”

“Saya tidak serendah itu.”

“Lalu mengapa bisa putus?!”

“Dia yang memutuskan.”

“Dia pacaran dengan lelaki lain?!”

“Ya!”

Aningsih menghela napas. “Kalau begitu, kamu patah hati sekarang. Tidak apa.
Kisah cinta tidak selalu berjalan mulus Kamu laki-laki. Tidak boleh cengeng.
Masih banyak yang bisa kamu harapkan dalam hidup ini. Perempuan tidak cuma satu
di dunia ini!”

“Barangkali memang begitu. Tetapi saya sulit sekali melupakannya.”

“Kamu sangat mencintainya?!”

“Ya!”

“Kamu harus berusaha melupakannya. Itupun kalau kamu benar. Jangan-jangan kamu
cuma bohong!”

“Sungguh kok, Mbak Ning. Saya tidak bohong. Kalau Mbak tidak percaya, Mbak boleh
melihat fotonya,” sambil berkata demikian Benny mengambil dompetnya dan
mengeluarkan sehelai foto berukuran separoh kartu pos. Diserahkannya pada Mbak
Ning. Perempuan itu mengamat-amati foto itu. Foto seorang gadis separuh badan.
Cantik. Berusia sekitar dua puluh satu tahun.

Mbak Ning menyerahkan kembali foto itu.

“Cantik memang. Pantas kamu sangat mencintainya. Tetapi Mbak lihat, gadis ini
type setia. Rasanya hampir tidak mungkin kalau dia mengkhianati cinta kalian!”

Benny menyimpan kembali sehelai foto itu ke dalam dompetnya, kemudian dimasukkan
ke saku belakang celananya. “Mengapa Mbak tidak percaya, padahal saya sudah
menceritakan yang sebenarnya.”

“Kalau memang begitu, yah . . . apa boleh buat. Kamu harus tabah,” suara
Aningsih seperti yang sedang memberi petuah.

“Ya, memang. Saya harus tabah,” ujar Benny.

Angin melembut, menggerai-geraikan rambut mereka. Perahu-perahu masih saja hilir
mudik di danau buatan. Pucuk-pucuk pinus bergoyang di ke jauhan. Di bawah mereka,
di aspal jalan yang melingkari bukit kecil panjang itu. Ada sepasang manusia
yang berjalan mesra sekali. Lengan si lelaki melingkari pinggang si wanita.
Sedangkan kepala si wanita menyandar ke bahu si lelaki. Mesranya! Selangit!

“Kadang saya sering iri jika melihat kemesraan orang lain,” ujar Benny yang
melihat sepasang insan yang saling mencinta itu.

“Kalau begitu, mengapa kamu datang ke mari sendirian?! Di sini banyak sekali
pemandangan yang menyiksamu!”

“Tempat ini banyak memberikan kesan pada saya, Mbak. Saya dan Lisa datang ke
mari. Kami bermesraan. Saya senang mengembalikan kesan-kesan itu!”

Mbak Ning tertawa. “Kau salah!” katanya. “Yang begitu, malah akan semakin
menyiksamu!”

“Yah, saya memang salah. Memang salah!” ujar Benny seperti mengeluh. Lalu Benny
mencabut lagi sebatang rumput. Digigitinya. Lalu dilemparkannya kembali. “Dan
Mbak sendiri?! Mengapa Mbak ada di sini?!”

“Sudah kukatakan, bukan?! Aku menunggu seseorang.” kali ini wajah Mbak Ning
menampakkan kegelisahan.

Benny menatap lebih tajam. “Kelihatannya Mbak bohong!”

“Kamu tidak percaya?!”

“Ya! Saya tidak pereaya!”

“Apa yang menyebabkan kamu tidak percaya?!”

“Mata Mbak! Mulut Mbak, bisa bohong. Tetapi mata Mbak tidak. Mata Mbak lebih
jujur!”

Aningsih menggigit-gigit bibirnya sendiri. “Saya tidak bohong.”

“Lalu, yang menunggu mbak itu, tidak datang?!”

“Sudah hampir satu jam aku menunggu. Rasanya dia memang tidak datang.”

“Barangkali dia ada halangan.”

“Ya! Barangkali!” Aningsih melihat ke jam tangannya. Sudah jam lima lewat.
Matahari sudah redup di langit. Angin bertambah sejuk semilir. Lama mereka
ngobrol. Melompat dari satu masalah ke masalah lain. Kebanyakan tidak penting.
Suasana petang semakin hilang. Berganti dengan gelap. Bulan di langit tersenyum.
Bulan sabit. Di pebukitan tidak hanya mereka berdua. Tetapi banyak lagi yang
lain. Mereka adalah pasangan-pasangan yang saling memadu kasih. Dan sekarang,
Aningsih dan Benny tidak lagi berjauhan. Aningsih meletakkan kepalanya ke bahu
Benny. “Kalau saja pacar Mbak melihat kita, tentu akan cemburu!” ujar Benny.

Akingsih tersenyum. “Aku belum punya pacar.” katanya. “Lalu?! Lelaki yang
janjian sama Mbak, yang ternyata sekarang tidak datang?!”

Aningsih menggeser-geser rambutnya ke leher Benny, “Lelaki itu belum lama
kukenal. Baru dua kali bertemu. Dan sekarang dia tidak datang. Janjinya tidak
bisa kupercaya!” ujar Aningsih.

Benny merasakan geli yang nyaman ketika Aningsih menggeser-geserkan rambutnya ke
lehernya. Geli yang merambati pembuluh-pembuluh darahnya. Angin malam berkesiur
dingin, menusuk tulang. Tetapi tidak demikian halnya dengan Ning dan Benny.
Keduanya sama sekali tidak merasakan dingin. Hati mereka hangat. Lengan-lengan
mereka saling merangkul. erat. Keduanya merasakan diri melayang. Bayang-bayang
pepohonan menimpa mereka.

“Boleh aku ke rumah Mbak Ning kapan-kapan?!” tanya Benny.

“Mengapa tidak?! Aku senang sekali kalau kau mau datang.” kata Ning.

“Pasti! Pasti aku akan datang!” kata Benny.

Lalu mereka berkecupan. Hangatnya bibir Benny. Hangatnya bibir Ning. Lalu tangan-tangan
mereka saling bergenggaman. Lalu saling meremas. Lalu berkecupan lagi. Mesranya.
Dan bayang-bayang pohon semakin menghitam. Angin semakin dingin berkesiur.
Mereka tak ubahnya seperti sepasang kekasih yang sudah lama saling memadu kasih.
Sampai akhirnya, Aningsih seperti tersadar menatap jam tangannya. “Ah, sudah jam
delapan!” katanya. Lalu dilepaskannya rangkulannya. “Kita pulang, Ben!”

Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Benny dan Aningsih melangkah kecil, menuruni
pebukitan itu. Lengan Benny melingkari pinggang Aningsih yang ramping. Suatu
ketika, hampir Aningsih tergelincir. Lengannya bergelayutan di leher Benny.
Benny cepat meraih pinggang Aningsih erat-erat. Mereka berpelukan sambil berdiri.

“Kuantarkan Mbak pulang.” ujar Benny

“Tidak. Biar aku pulang sendiri.”

“Kata Mbak, aku boleh ke rumah Mbak Ning.”

“Boleh. Tetapi tidak sekarang.”

“Kalau begitu, Malam Minggu nanti?!”

“Jangan Malam Minggu.”

“Pacar Mbak datang. ya?!”

“Bukan. Malam Minggu nanti aku ada acara keluarga.”

“Acara apa ?! Ulang tahun?!”

“Bukan! Arisan keluarga! Ah, kau banyak tanya.”

“Kalau begitu, Malam Rabu depan. Seminggu lagi?!” Aningsih mcngernyitkan
keningnya. “Baiklah! Aku tunggu kau!” lalu Aningsih menyetop taksi. Sejurus
kemudian, taksi pun melesat meninggalkan Benny yang masih saja mematung
memandangi taksi itu.

Lalu Benny menstarter motornya.

Sungguh, dia tak menyangka, malam ini akan bertemu dan berkenalan dengan Mbak
Ning. Dan dia tak menyangka, bahwa perkenalan itu cepat menjadi rapat. Keduanya
tersenyum-senyum kecil. Terbayang kembali, bagaimana mesranya bihir Mbak Ning
menindih bibirnya. Betapa hangatnya. Betapa lembutnya. Hampir saja Benny
menubruk bus tingkat yang tiba-tiba saja berhenti. Untunglah naluri Benny cukup
tajam untuk menghindari tubrukan itu.

BENNY TIDAK dapat melupakan Aningsih. Di tempat pekerjaannya, Benny tetap ingat.
Ini menjadikan Benny banyak melamun. Nelly mengageti Benny. Benny tersentak.
Hampir saja berhenti jantungnya. Nelly terkikik-kikik. “Tampangmu lucu sekali
kalau lagi kaget,” kata Nelly sambil menutupi mulutnya.

“Kalau jantungku putus, apa kamu bisa ganti?!” tanya Benny kheki.

“Bisa! Aku ganti saja sama hati monyet!”

“Enak saja! Apa kau kira aku ini satu keluarga dengan monyet?! kata Benny lagi.

“Aku tahu. Pasti Benny lagi kasmaran,” ujar Oding.

Apa yang dikatakan Oding memang hampir benar. Benny melamun. Dan Aningsih yang
dilamunkan. Terbayang wajahnya. Terbayang gerak-geriknya. Terbayang tertawanya.
Semua, semua. Dan Benny membandingkan Aningsih dengan perempuan-perempuan yang
pernah dikenalnya. Dengan Hera, Yani, Dari dari banyak lagi wanita-wanita lain.
Namun Aningsih mempunyai daya tarik sendiri. Rasanya lama sekali sampai menunggu
hari Rabu tiba. Menit demi menit yang berlalu, rasanya sangat lambat. lngin
dipaksakannya matahari bergeser cepat ke sebelah barat, agar hari cepat berganti!

HARI RABU.

“Mbak Ning tinggal sendirian di sini?!” tanya Benny pada Aningsih. Mereka duduk
di ruang tengah rumah Aningsih. Pada jam sepuluh pagi, Akingsih belum mandi.
Tetapi di mata Benny, bahkan Aningsih tampak lebih cantik dan menawan.

“Tidak! Bersama teman, Mbak. Hilda! Dan seorang pembantu!” jawab Aningsih sambil
meletakkan segelas kopi susu di hadapan Benny.

Benny mengitarkan pandangannya ke sekeliling ruang tengah. Hm, rapi. Pertanda
rumah ini ditangani oleh orangorang yang apik.

“Mbak Ning kerja?!” tanya Benny lagi.

“Tidak! Aku cuma dagang permata. Yah, hasilnya lumayan juga,” kata Aningsih
sambil berdiri dari duduknya. “Kau tunggu sebentar. Mbak mandi dulu. Kalau mau
baca-baca majalah, tuh du bupet. Banyak!” kemudian Aningsih masuk ke kamarnya,
mengambil handuk. Kemudian keluar lagi dan melenggang ke kamar mandi. Mata Benny
tak lepas dari pinggul Aningsih yang bergoyang-goyang.

Aningsih melepaskan satu-satu yang melekat di tubuhnya. Hmm, air terasa sejuk
ketika mengguyur tubuhnya yang mulus. Lalu tangannya yang lentik mulai menyabuni.
Mulai dari leher, turun ke bahu, turun lagi ke sepasang pebukitan indah di
dadanya. Seluruh apa yang ada pada dirinya, merupakan panorama sangat indah yang
akan mendatangkan kesan mendalam bagi yang memandangnya. Sambil menyabuni itu,
Aningsih berpikir: “Benny benar-benar datang!” Aningsih benar-benar tidak
menduga, bahwa Benny akan menepati janji. Pemuda itu sangat menarik. Tubuhnya
tegap dan atletis. Tubuh yang dirindukan oleh perempuan.

“Bennnn !!!” Benny yang sedang duduk membaca majalah di ruangan tengah,
mendengar suara Aningsih yang memanggilnya mesra.

Benny menutupkan majalah dan buru-buru ke kamar mandi. Pintu kamar mandi
setengah terbuka. Aningsih berdiri dengan handuk sebatas dadanya! Benny
terkesiap. Hmm, dengan handuk itu, tubuh Aningsih tercetak indah. Terutama kulit
bahu dan pahanya yang sangat mulus. Kencang dan sekal. Membuat mata Benny tidak
berkedip.

Aningsih tersenyum sambil menjentik pipi Benny. “Mengapa kau pandangi aku
seperti itu, sih?! Apa ada yang aneh pada diriku?!”

“Ah, tidak. Aku . . . eh, Mbak cantik sekali!” kata Benny gelagapan dan serba
salah.

“Wowww! Rayuan gombal!” ujar Ningsih sambil mengerling manis. “Bennn!! Tolong
aku, ya . . . ?!”

“Tolong apa, Mbak?!”

“Tolong ambilkan aku sendal di kamar. Sendal yang warna merah. Brengsek, deh.
Aku lupa pakai sendal ke kamar mandi.” kara Aningsih dengan suara manja. Suara
yang membuat hati Benny panas dingin.

Benny segera ke kamar Mbak, Ning, mengambil sendal merah. La.lu kembali ke kamar
mandi. “Terima kasih, Ben!” ujar Aningsih sambil mengenakan sendal yang
diambilkan Benny.

Tetapi baru saja mengenakan sebelah, tiba-tiba kaitan handuk Aningsih terlepas.
Dan cepat sekali handuk itu meluncur ke bawah. Aningsih terkejut. “Oh . . . !”
serunya. Tetapi Aningsih sudah tidak mengenakan apa-apa lagi.

Yang terlebih gawat adalah Benny. Jantungnya dirasakan bagai akan meledak . . .
Matanya membelalak. Dan Benny tidak nampu menguasai diri lagi. Ditubruknya
Aningsih. “Bennnn! Kau ini, Apa-apaan . . . ?!” Aningsih meronta-ronta. Namun
rontaan-rontaan itu terlalu lemah. Tidak mungkin mampu melepaskan diri dari
pelukan Benny yang ketat. “Bennn! Jangan, ah! Oukh, kamu ini . . . !!” Aningsih
masih mencoba meronta. Tetapi . . . ah, tidak. Lebih tepat dikatakan menggeliat.
Kepala Aningsih menggeleyong ke kiri dan ke kanan. Menghindari bibir Benny yang
mencari-cari bibirnya. Benny tak sabar. Didorongnya tubuh Aningsih.
Ditekankannya ke dinding kamar mandi, sehingga Aningsih tidak leluasa lagi
bergerak. Dan sekejap kemudian, mulut Benny berhasil menangkap bibir Aningsih. “Hmmmm!
Mmmmmm !!” Aningsih tidak lagi meronta. Matanya segera meredup. Menerima pelukan
dan kuluman bibir Benny yang hangat. Bahkan sekarang, Aningsih ikut membalas.
Dijulurkannya lidahnya. Saling mendorong dengan bibir Benny. Matanya semakln
redup. Lincah sekali lidah Aningsih mengait-ngait lidah Benny. Mendapat sambutan
yang hangat, darah muda Benny semakin membuncah. Panas! Menuntut pelepasan.
Apalagi ditambah dengan sepasang payudara ranum milik Aningsth yang menekan dada
Benny yang bidang!

“Bennnnn! ! Hmmphh . . . akh!”

“Mbak !! Ssssh !!”

“Sesak napasku, Bennnnn!!”

“Biarlah sesak!”

“Putus jantungku!”

“Biarlah putus!”

“Kalau aku mati . . . ?!!”

“Aku akan ikut mati!”

Aningsih tertawa sambil mencubit pipi Benny. “Ih, kok kayak Romeo dan Yuliet
saja. Kalau aku mati, apa kau benarbenar mau ikut mati?!”

“Mau! Demi Mbak!.’ujar Benny sambil menciumi leher Aningsih dengan lembut sekali.
Aningsih menggeliat-geliat. Lehernya menggeleyong-geleyong ke sana-ke mari.
Sikap seorang perempuan yang penuh rangsangan.

“Benn . . . !!” Aningsih menyebut nama lelaki itu ditengah-tengah rintihannya.

“Ada apa Mbak?!”

“Mengapa kau bersikap begini padaku?!” dan Aningsih lebih terengah-engah lagi,
bilamana hidung Benny menyapunyapu pankkal buah dadanya yang montok.

“Saya . . . saya . . . cinta pada Mbak . . . !!” ujar Benny di tengah dengus-dengus
napasnya.

Aningsih tertawa kecil. Telapak tangannya sebentar mengeluas dan sebentar
menekan belakang kepala Benny. “Kamu nggak bohong?!” tanya Aningsih sambil
membusungkan dadanya yang montok dan putih itu, agar Benny lebih le-luasa
melakukan aktifitasnya.

“Saya nggak bohong, Mbak!”

“Kamu bohong . . . !” Aningsih memijit hidung Benny dengan gemas.

“Aww . . . !” Benny menjerit. Pijitan itu mendatangkan sakit. Tetapi juga nikmat.

“Kamu bohong, Ben! Lelaki memang begitu. Suka bohong. Rayuannya gombal. Selangit.
Tetapi buktinya, nol! Nol kosong! Dan perempuan-perempuan banyak yang tertipu.
Mereka akhirnya cuma bisa menangis dan menangis!” ujar Aningsih sambil sambil
menekankan dadanya yang sekal, lengkap dengan putihnya yang kemerahan menantang
itu kedada Benny yang bidang. Dan Benny merasakan sesuatu mengutik-utik di
antara kedua pangkal pahanya, di balik celana panjangnya.

“Tetapi aku tidak begitu, Mbak. Kau tidak boleh menyamaratakan semua lelaki!”
Benny panas dingin menahankan sesuatu yang bergelora, membuat kelenjar darahnya
berdenyut-denyut.

“Tetapi, Ben! Apa betul kamu sungguh-sungguh mencintaiku?!” Aningsih melepaskan
satu demi satu-satu kancing hemd Benny. Dan kemudian melepaskan hemd lelaki itu.
Hemd itu meluncur begitu saja, jatuh ke lantai kamar mandi yang basah.

Seperti yang dibayangkan Akingsih, tubuh Benny sangat mengagumkan. Tubuh atletis.
Bahunya tegap. Kedua lengannya kekar, berurat. Dan dadanya berbulu lebat. Sirrr
. . . ! Berdesri darah Aningsih bilamana bulu-bulu dada yang keriting lebat itu
bergesek ke dadanya.

“Bennn!” bisik Aningsih.

“Ada apa, sayang?!” tanya Benny.

“Bawa aku kamar. Di sini . . . di sini . . . dinginnnnn . . . !!!”

Benny tak perlu menunggu diperintah sampai dua kali. Segera didukungnya Aningsih
ke luar dari kamar mandi. Mbok Inem, pembantu Aningsih sedang ke pasar. Benny
meletakkan tubuh mulus yang sudah tidak ditutupi sehelai benangpun ke tempat
tidur. Kemudian lelaki muda itu melepaskan celana panjangnya. Sambil berbaring.
Aningsih menatap tubuh Benny yang aduhai itu. Benny hanya mengenakan celana
dalam kecil saja. Berwarna putih. selangkangan Benny tampak menonjol. Dan
Aningsih menelan ludah. Di balik celana dalam itu, meremang hutan lebat
menghitam. Bergompyok. Terus menyambung sampai ke pusar Benny. Dan Aningsih
sekali lagi menelan ludah.

“Bennnn . . . !!” ujar Aningsih. “Ada apa, sayang?!”

“Bukalah celana dalammu. Bukalah!”

Benny tersenyum, melepaskan celana dalamnya. Dan . . . wow!! Mata Aningsih
membelalak. Bagaimana tidak?! Sesuatu yang biasanya selalu tersembunyi itu, kini
terpampang bebas. Bazoka Benny! Senjata yang menggayut setengah tegang itu,
panjang dan besar. Hebat sekali! Seakan-akan menantang bagi yang memandang.
Benda luar biasa itu mengangguk-angguk. Menghitam! Mulai dari bagian pangkalnya,
lebat ditumbuhi rambut kriting: Bukan main! Seumur hidupnya, Aningsih belum
pernah menyaksikan benda sehebat dan seindah itu.
D U A

BUKAN BARU sekali ini Aningsih menghadapi lelaki. Tetapi secara jujur, Aningsih
harus mengakui, bahwa lelaki seperti Benny sangat jarang ditemuinya. Lelaki
bertemperamen panas. Jantan! Romantis. Lelaki-lelaki yang dihadapinya,
kebanyakan loyo. Tidak dapat memberikan kepuasan padanya!

Aningsih membiarkan saja Benny meraba-raba sepasang buah dadanya yang montok
ranum. Lengkap dengan putingnya yang kemerahan tegak menantang ke atas. Puting
itu bergetar-getar, seirama dengan gerakan-gerakan bukit indah itu. Dan Benny
meremasnya dengan lembut. Lembut sekali. Penuh perasaan.

Aningsih merengek manja. Menggeliat sambil merintih. Matanya meredup. Oukh,
telapak tangan Benny hangat dan seakan-akan mengandung magnit. Membuat Aningsih
jadi terangsang. Tangan lelaki itu masih juga meremas. Berpindah-pindah. Puas
sebelah kanan. Beganti dengan sebelah kiri. Bervariasi dengan tekanan-tekanan
yang romantis. Mendatangkan rasa geli-geli dan nikmat. “Oukh, Bennnn! Hmmnrhhh .
. . sssh, akh!” ujar Aningsih sambil membusungkan dada yang sedang diremas Benny,
agar Aningsih lebih dapat meresapkan rasa geli-geli nikmat itu.

Benny memang pintar menaikkan rangsang perempuan sedikit demi sedikit. Bukan
hanya tangannya saja yang pintar bermain. Tetapi juga hidung dan mulutnya.
Hidungnya menciumi permukaan payudara yang padat dan montok itu. Tidak terlalu
besar dan juga tidak kecil. Bentuknya sangat indah. Membuat gemas. Cara Benny
menciumi sepasang payudara itupun bervariasi. Sebentar keras dan sebentar lembut.
Dan darah yang mengalir di tubuh Aningsih semakin deras saja!

“Ben !! Kamu sering main perempuan!” tanya Aningsih ditengah-tengah napasnya
yang terengah.

“Tidak sering, Mbak. Baru beberapa kali saja.” ujar Benny sambil membuka
mulutnya dan memasukkan puting buah dada yang merah kecoklatan itu.

“Auww . . . !!” Aningsih menjerit lirih. Dan perempuan itu menggelinjang-gelinjang,
bilamana puting buah dadanya dikulum oleh Benny. Dan untuk kesekian kali,
Aningsih harus mengakui, bahwa kuluman bibir Benny sangat berbeda dengan kuluman
bibir lelaki-lelaki lainnya. “Hsssh, akh! Terus, Bennnn! Terussss, sayangghhh .
. . !! Hmmmhhh . . . !!” dua telapak tangan Aningsih mengerumasi rambut Benny
sambil menekankan.

Benny semakin terangsang. Sungguh nikmat puting buah dada itu. Dikulum oleh
Benny. Dilepaskan. Dikulum. Dilepaskan lagi. Berganti-ganti kanan dan kiri.
Dikulum lagi, dilepaskan lagi. Berulang-ulang dengan tak bosan-bosannya. Dan
puting itu semakin tegang lagi. Benny melakukannya bervariasi. Sebentar lembut
dan sebentar keras. Dan rasa geli bercampur kenikmatan semakin terasa. “Oukh,
Benny! Teruskan, sayanghhh . . . !! Sssh ennnak, Bennnn!!!” mulut Aningsih
mendecap-decap seperti orang kepedasan. Tersendat-sendat. Dan buah dada Aningsih
semakin keras, pertanda perempuan itu kian terangsang. Lebih-lebih bilamana
Benny menggeser-geserkan di antara gigigiginya. Nikmat! Dan napas Aningsih turun
naik. “Bennyy!! Keras, dikit! Ya, ya. gitu. Aukh, Bennnn! Kok enakkkh, sihhhh !”
dan Aningsih merintih-rintih.

Benny semakin bersemangat. Digigit-gigitnya pentil susu yang kenyal itu.
Dihisapnya. Lalu dijilatinya dengan bernafsu. Sebentar ditinggalkannya, puting
itu. Lalu Benny mengecupi buah dada ranum itu bertubi-tubi. Lalu kembali ke
pentil susu .yang siap menanti. Dibisapnya lagi. Digigitinya. Dikulum-kulumnya
Lalu dilepaskannya lagi. Sementara tangan Aningsih tak menentu mengerumasi
rambut Benny yang tebal, sehingga rambut lelaki itu menjadi acak-acakan.

Lama Benny mencumbu sepasang susu yang indah menggiurkan itu. Demikian pula
dengan ketiak perempuan itu. Benny tak mau membiarkan menganggur. Ketiak
Aningsih berbulu lebat. Sesuai dengan selera Benny. Benny memang paling senang
dengan perempuan-perempuan yang cantik yang ketiaknya berbulu lebat. Sesuai
dengan pengalaman Benny, biasanya perempuan-perempuan itu bertemperamen panas.

Benny menciumi ketiak perempuan itu, lalu menurun sampai ke pinggang sebelah
kiri. Naik lagi ke ketiaknya, menurun lagi sampai ke pinggangnya. Demikian
berulang-ulang. Benyy juga menggunakan ujung lidahnya untuk menjilatjilat sambil
menggigiti keras dan lembut. “Uukh, Bennnn! Kami sungguh pintar membahagiakan
perempuan . . . !!!” bisik Aningsih terputus-putus.

Benny bukan hanya sekali ini mendengar ucapan seperti itu. Ketika mencumbu ibu
kostnya, Tante Dewi, Benny juga menerima ucapan-ucapan seperti itu. Di samping
itu, Tante Dewi juga mengatakan, bahwa seumur hidupnya, dia takkan mampu
melupakan Benny.

Permainan lidah Benny terus dengan gencar menyerang tempat-tempat di tubuh
Aningsih yang sensitip. Dijilatinya perut Aningsih yang licin dan langsing.
Pusarnya menjadi sasaran ciuman-ciuman Benny berulang-ulang. Sambil berbuat
demikian, tangan Benny membelai-belai kedua paha Aningsih yang masih terkatup.

Aningsih sudah gemetar tubuhnya. Panas dingin. Ketika Aningsih menengok ke bawah,
pandangannya beradu pada sesuatu di antara kedua paha Benny. Aningsih menelan
ludah. Benda itu sejak tadi menggodanya. Aningsih menurunkan tangannya.
Digenggamnya batang zakar Benny yang aduhai. Benny yang sedang menciumi sedikit
di bagian bawah pusar Aningsih tertahan-tahan napasnya. “Oukh. Mbak . . . !”
katanya. Aningsih merasakan benda yang digenggamnya, yang baru separuh tegang,
hangat dan besar. Senang sekali menggenggam seperti itu. Sementara itu. tangan
Benny masih juga terus meraba-raba Aningsih berganti-ganti.

“Sabar, Mbak!” bisik Benny. “Nanti Mbak boleh berbuat apa saja terhadap punyaku.
Tetapi sekarang, aku sedang ingin mencumbu tubuh Mbak. Seluruh tubuh Mbak!
Kurang leluasa kalau Mbak menggengam punyaku begini!”

Apa boleh buat. Meskipun Aningsih masih ingin menggenggam batang zakar yang luar
biasa itu, terpaksa dilepaskan. Maka kini dengan leluasa melakukan aktifitasnya.

Dan . . . hhmmmh! Benny menahan napas bilamana pandangannya ditujukan ke
selangkangan Aningsih. Bagian itu gompyok ditutupi rambut yang tebal keriting.
Hmmh! Rambut kemaluan Aningsih bukan main lebat dan ikal. Menghitam! Kata orang,
semakin tebal rambut kemaluan perempuan akan semakin enak kalau digituin. Dan
sekarang, secara jujur, Benny harus mengakui, bahwa dia belum pernah mendapatkan
perempuan yang rambut kemaluannya setebal dan selebat Aningsih. Benny menelan
ludah. Jika menuruti nafsunya, tentu saja seketika itu juga Benny akan
membenamkan batang kemaluannya yang sudah kian tegang, ke belahan daging hangat
di balik rimbunan hutan lebat itu. Tetapi Benny bukanlah type lelaki yang serba
grasa-grusu. Dia tidak akan menggituin pereinpuan, sebelum lebih dulu memberikan
kesan yang sangat mendalam. “Oukh, Ben!” Aningsih menepuk pipi Benny lembut. “Kau
kok jadi berobah seperti patung! Apa aku ini aneh bagimu!”

Benny menelan ludah sambil tersenyum. “Bukannya aneh, Mbak. Tetapi anumu, nih .
. . !” ujar Benny sambil membelai rambut kemaluan Aningsih. “Rambut kemaluan ini
indah dan menawan sekali. Baru rambutnya saja sudah begini menggiurkan, apalagi
kemaluanmu. Tentunya enak sekali. Hmmh!”

Aningsih tertawa kecil. “Kau senang sekali pada rambut kemaluanku. Ben?!” tanya
Aningsih sambil menggosok-gosok bulu-bulu rambut di dada Benny.

“Senang sekali, Mbak. Senang sekali,” Benny masih terus dengan mesra membelai-belai
rambut kemaluan yang indah itu.

“Kamu sering mengerjai perempuan yang rambut kemaluannya setebal punyaku!”

“Belum, Mbak. Baru sekali ini. Bahkan aku pernah menccipi punya perempuan yang
botak!” ujar Benny.

Aningsih tertawa kecil lagi sambil mengerumasi ramhut Benny. “Nah, terserah
kaulah. Perbuatlah apa saja yang kau sukai pada punyaku!”

Walaupun tanpa diperintah seperti itu, tentu saja Benny akan berbuat sesukanya
terhadap kemaluan Aningsih yang kini sudah terpampang di hadapannya. Benny
menggerai-geraikan rambut kemaluan yang tebal, panjang dan keriting itu. Lalu
ditekan-tekannya. Lalu diciuminya. Kadang-kadang ditarik-tariknya. Aningsih
merasakan kemesraan amat sangat. Secara naluriah, pahanya mulai membuka sedikit
demi sedikit. Jari-jari tangan Benny bermain-main di pebukitan itu. Hmmh,
mesranya! Selangit!

“Bennn !!” Aningsih merintih.

Benny menguakkan bibir-bibir kemaluan Aningsih. Hmm, tampak bagian dalamnya yang
kemerahan. Sangat indah menawan. Benny menelan ludah. Beginilah kiranya kemaluan
perempuan. Dengan mesranya, Benny meraba-raba vagina yang indah itu. Merah dan
licin. Pada bagian atas, pada pertemuan antara dua bibir, tampak sekerat daging
kecil. Nyempil sendirian. Tidak berteman. Sungguh kasihan. Benny memandangi
sepuas-sepuasnya panorama indah mengesankan itu. Ningsih memijit hidung Benny
agak kuat. “Oukh, Ben! Mengapa cuma melihati saja?! Memangnya punyaku barang
tontonan!”

Benny tersenyum. Tahulah dia, bahwa Aningsih sudah kepingin sekali dikerjai
vaginanya. Padahal Benny masih ingin lebih lama memandangi. Vagina Aningsih
rasanya lebih indah dari pada vagina-vagina perempuan lain yang pernah
disaksikannya. Dengan mesra, jari-jari Benny menyentuhnya. Aningsih tergelinjang.
“Wow! Hmmh, Bennnnnnn!! Ss sh, akh!” Aningsih menggeliat. Jari Benny terus juga
bermain. Mengutik-utik kelentit yang nyempil aduhai.

Benny menempatkan di antara kedua paha Aningsih yang sudah mengangkang. Liang
vagina yang sebaris dengan sibakan bibir inilah yang dapat menjepit dan
memberikan kenikmatan kepada zakar. Lagi-lagi tangan Benny menyentuh kelentit
yang cuma sekerat itu. Dan lagi-lagi Aningsih bergelinjang. Nikmatnya bukan main.
Orang suka bilang, kelentit itu bisa berdiri. Benarkah?! Benny senang sekali dan
mengulangi perbuatannya berkali-kali. “Oukh, geli, Ben! Geliiiii! Sssh, akhh . .
. !!” Aningsih merintih-rintih.

Tingkah Benny saat itu, bagaikan kanak-kanak yang memperoleh permainan yang
mengasyikan. Permainan yang tidak ada dijual di toko. Semakin giat Benny
menyentuhi sekerat daging kecil itu. Aningsih mengerumasi rambut Benny.

Tidak puas dengan hanya menyentuh dengan tangan saja, bibir-bibir kemaluan yang
ditumbuhi rambut itu, dikuakkan oleh Benny semakin lebar lagi. Kedua kaki
Aningsih kini telah niengangkang selebar-lebarnya, menekuk ke atas. Sekarang,
bagian dalam kemaluan itu telah terpampang selebar-lebarnya. Terbebas sama
sekali. Sedetik kemudian, Aningsih terpekik: “Awww . . . !” Tubuhnya tersentak
ke atas. Rupanya Benny telah membenamkan hidungnya ke dalam belahan daging yang
aduhai itu. “Bennn . . . !! Uf ! Ssssh ennnakhhh, Bennn!!” Aningsih merintih-rintih
sambil menekankan belakang kepala Benny dengan kedua tangnnya. Maka hidung Benny
mulal menggusur ke sana-ke mari. Seperti akan membongkar seluruh bagian vagina
Aningsih. Kaki Aningsih menendang-nendang ke atas, merasakan kenikmatan tidak
bertara. Benny terus dengan giatnya menciumi. Vagina Aningsih menyebarkan aroma
yang segar merangsang!

“Oukh, Bennn! Enak . . . enak . . . enak, sayangghhhh! Teruskan, Ben! Ayo, lebih
cepat .dikit. Hmmmh Bennnn! Terus, sayang. Terus, terus, akhhhh !!”

“Aku juga, Mbak! Aku . . . aku . . . juga enak,” bisik Benny sambil juga
menggunakan. lidahnya, menjilat dan menjilat.

Mata Aningsih merem melek. Kepalanya terlempar ke sana-ke mari. Lehernya
menggeleyong-geleyong. “Bennn! Kamu senang menciumi punyakuuuu . . . ?!! Shhh .
. . !!!” tersendat-sendat suara Aningsih.

“Senang sekali, Mbak! Punyaku jadi semakin tegang, nih!” kata Benny tersendat-sendat
pula. Dan lidah Benny terus juga menjilat dan menjilat. Menyapu-nyapu kelentit
Aningsih. Benar saja! Kelentit itu semakin tegak, menandakan Aningsih telah
terbakar oleh nafsu birahi. Kedua kaki Aningsih terus menyentak-nyentak ke atas.
Pantatnya diangkat dan digoyang-goyang. Oukh, sungguh, permainan yang
mengasyikkan.

Benny benar-benar menyukai menciumi dan menjilati vagina Aningsih yang harum itu.
Sama sekali tidak jijik. Justru sebaliknya. Ketagihan. Benny semakin rakus dan
semakin rakus.

“Bennn!!! Hhhssshh. Hmmm . . . hmmmhhh!” suara Aningsih menggeletar. Badannya
nienggeliat-geliat tak menentu. Tubuhnya menggelepar-gelepar, bilamana ujung
lidah Benny mengait-ngait dan menusuk-nusuk liang vagina Aningsih yang terasa
liat. Sentuhan-sentuhan lembut vagina yang berdenyut-denyut itu kian membakar
nafsu birahi. Dan tiba-tiba Aningsih mengejang. “Bennn . . . !! Sssh !
Akkkhhhuuu tak kuaattsss, sayaugghh . . . !!” Aningsih merentak-rentak.

“Ayoh, Mbak! Keluarkan! Aku sudah siap menerima!” ujar Benny yang terus juga
dengan bersemangat menusuknusuk vagina Aningsih dengan ujung lidahnya.

“Iyyaa, Bennnn! Akhhhu shhi . . . aukhh! Bennn! Ennnakkhhhh, meronta-ronta
bagaikan kesetanan. Berbarengan dengan jeritannya yang menyayat, Aningsih
mengangkat pantatnya tinggi-tinggi dan menekankan belakang kepala Benny sekuat-kuatnya,
sehingga tanpa ampun separuh wajah Benny membenam sedalam-dalam ke bagian dalam
kemaluan Aningsih. Bertepatan dengan itu pula, menyemprotlah cairan hangat dan
licin. Kental. Menyiram lidah Benny yang terus menusuk-nusuk lobang vagina
Aningsih.

Benny yang memang sudah siap menerima, bagaikan kesetanan, menghirup habis
cairan yang banyak sekali itu. Terus dijilat dan disapu bersih, masuk ke
kerongkongannya. Sudah tentu Aningsih semakin berkelojotan, dikarenakan rasa
nikmat yang luar biasa sekali. Sampai akhirnya tetes cairan yang terakhir. Tubuh
perempuan itu melemas. Sedangkan Benny sendiri, merasakan pula nikmat luar biasa
ketika mereguk cairan licin itu. Cairan kenikmatan Aningsih gurih sekali, lebih
gurih dari pada segala yang paling gurih di dunia ini !

Benny tertunduk sambil menjilati sisa-sisa cipratan cairan Aningsih yang
melekati pinggiran bibirnya. Aningsih melompat dan memeluk Benny kuat-kuat. “Oukh,
Bennn! Terima kasih, sayangl Kau hebat! Jantan! Kau mampu membuat perempuan
bahagia!” dan Aningsih menciumi bibir Benny bertubu-tubi.

“Aku sampai kenyang menelan cairanmu. Banyak dan kental sekali! “ujar Benny.

“Kau tidak jijik, Ben ?!”

“Sama sekali tidak. Malah aku ketagihan. Kalau masih ada, aku masih mau
meneguknya lagi!”

Aningsih tambah gembira. Menciumi lagi bibir Benny bertubi-tubi. Kemudian
didorongnya tubuh lelaki muda itu sehingga tergelimpang di atas kasur. “Kau
sudah mengerjai punyaku! Sekarang, ganti aku yang mengerjai punyamu!” ujar
Aningsih yang segera menyergap selangkangan Benny.

“Auwww . . . !” Benny menjerit kaget.

Namun Aningsih tidak menghiraukan. Batang bazoka Benny yang sudah benar-benar
tegak mengacung, sejak tadi sangat menggoda. Aningsih sudah ingin sekali
menciumi dan mengemoti. Dan sekarang, keinginan itupun kesampaian.

Dengan mesranya Aningsih membelai-belai batang kemaluan itu yang bukan main luar
biasa besar dan panjangnya. Demikian pula dengan kepalanya yang berkilat dan
membengkak. “Oukh, punyamu hebat sekali, Ben! besar dan panjang. Hmmhh . . .
!!!” Aningsih terus juga membelai sambil sesekali menggenggam. Mulai dari
pangkalnya yang dipenuhi rambut lebat sampai ke ujungnya yang berkilat dan
membengkak, berbentuk topi baja.

“Kamu suka pada punyaku, Mbak?!” tanya Benny sambil membiarkan Aningsih mengeser-geserkan
zakarnya yang hebat itu ke pipi dan matanya.

“Suka sekali, Ben! Tetapi ugh! Punyamu besar banget. Bengkak! Aku jadi negeri!”

“Ngeri kenapa?!”

“Ngeri kalau-kalau vaginaku sobek dan rusak!”

Beny teatawa kecil. “Kau ini ada-ada saja. Kan semakin besar semakin enak!”

“Iya! Tetapi punyamu ini besarnya nggak ketulungan!” ujar Aningsih.

Benny tertawa lagi. Batang zakarnya berkejat-kejat digenggaman Aningsih. “Aku
belum pernah merasakan batang zakar yang besar dan panjangnya kayak punyamu ini,”
ujar Aningsih lagi.

Benny merasakan geli dan nikmat bukan main ketika Aningsih menciumi zakarnya
yang semakin membengkak. Rasa geli yang nikmat dirasakan Benny. Tubuh lelaki itu
kejang. Matanya membeliak-beliak. “Hmmh, Mbak! Sssh . . . !” mulutnya mulai
merintih-rintih.

Sambil menciumi, Aningsih memijit-mijit batang bazoka yang keras bagaikan
tonggak itu. Menjadikan Aningsih gemes. Ujung lidah menciumi benda aduhai itu.
Benda yang dapat memberikan kenikniatan luar biasa kepada wanita. “Ben!
Perempuan-perempuan yang sudah kau kerjai, pasti pada ketagihan!” ujar Aningsih.

Benny tidak menjawab. Dia mendacap-decap bagaikan orang kepedasan. Tengah
meresapkan kenikmatan yang luaz biasa. Lezat!

Alat vital dalam genggaman Aningsih itu semakin membengkak dan semakin memanjang
lagi. Aningsih yang gemas bukan main, semakin tak tahan. Segera dia menempatkan
dirinya sebaik-baiknya diantara kedua kaki Benny yang tertekuk. Kedua paha Benny
terlentang selebar-lebarnya, sehingga tangan kanan Aningsih menggenggam alat
vital yang kencang itu, tangan kirinya memhelal-belai rambut kemaluan Benny yang
tebal dan ikal, tumhuh sanipai ke pusar. Merinding bulu-bulu roma Aningsih
bilamana dia menciumi seluruh batang dan kepala kemaluan yang luar biasa itu.
Bukan main. jari jari Aningsih hampir tidak muat menggenggam alat vital yang
luar biasa itu. Memang inilah yang sangat disukai Aningsih. Dulu, dia pernah
mendapatkan lelaki yang juga memiliki bazoka besar. Dan sejak itu, Ningsih
sangat merindukannya. Dan baru sekarang, dia memperolehnya kembali setelah
bertahun-tahun berselang. Aningsih yang semakin gemas segera menjulurkan
lidahnya, menjilat batang kemaluan itu. Lalu dingangakannya mulutnya dan
dimasukkannya bazoka luar biasa itu. Keruan saja Benny nienggelinjang kaget
namun nikmat. “Ouw, Mbak! Hmmh . . . enak sekali, Mbak!” Benny merintih. Kedua
kakinya terangkat naik dan menyepak-neyepak ke atas.

Mendengar rintihan Benny, Aningsih jadi semakin bersemangat. Kepala bazoka yang
berbentuk topi baja itu dikulumnya. Digigitnya. Tingkah Aningsih tidak ubahnya,
bagaikan seseorang yang mendapat makanan lezat. Nikmat sekali. Sampai matanya
terpejam-pejani. Air liurnya menetes-netes. Kepala yang berbentuk topi baja itu
sangat hangat dan. kenyal. Demikian pula halnya dengan Benny. Kunyahan-kunyahan
mulut Aningsih dirasakannya sangat nikmat dan merangsang nafsu birahinya. Benny
merintih-rintih. Kedua kakinya semakin menyepak. Matanya mebeliak-beliak,
sehingga hanya putihnya saja yang tampak. Aningsih kian bersemangat. Sekarang,
bukan hanya kepalanya saja yang dikulum dan digigiti Aningsih, tetapi seluruh
batang kemaluan yang perkasa itu. Semntara itu, kedua telapak tangan Aningsih
tidak tinggal diam. Sementara mulutnya mengulum, tangannya menarik-narik rambut
kemaluan Benny yang luar biasa lebarnya. Dan tangan yang satu lagi mempermainkan
sepasang biji milik Benny.

“Enak, Ben . . . ?!” tanya Aningsih ditengah-tengah kesibukannya.

“Enak sekali Mbak. Ennaaakkkh !!!” Benny berusaha menyahuti tersendat-sendat.
Kedua tangannya.

Aningsih terus juga melalap senjata yang luar biasa itu. Demikianlah secara
beraturan, kepala dan batang zakar Benny keluar masuk mulut Aningsih. Pada waktu
masuk, mulut Aningsih sampai kempot. Sedangkan pada waktu keluar sampai monyong.
Semakin lama semakin cepat. Tubuh Benny gemetar. Jemarinya mencengkeram rambut
Aningsih kuat-kuat. Rintihan . . . rintihannya semakin menghebat, sementara
Aningsih kian gencar menyerbu menggebu-gebu. Akhirnya, Benny menjerit histeris.
Pantatnya diangkatnya tinggi-tuiggi, sedangkan kedua telapak tangannya menekan
belakang kepala Aningsih kuat-kuat. Dan batang serta kepala kemaluan Benny pun
membenam sedalam-dalamnya, merojok sampai ke tenggorokan Aningsih. Dengan
bersemangat sekali, tangan Aningsih mengocok pangkal kemaluan Benny dengan cepat
dan mesra. Dan tanpa ampun lagi : “Crroott! Crrrroooottss! Crrottttsssss . . .
!!!” menyemprotlah cairan kental dari dalam batang kemaluan yang berdenyut-denyut
dengan dahsyatnya. Daya semprotnya luar biasa sekali. Tubuh Benny menggigil.
Aningsih tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan nikmat sekali disedotnya batang
kemaluan Benny. Maka tanpa ampun, bergumpal-gumpal cairan kenil:matan Benny,
tertumpah semuanya ke dalam mulut dan tenggorokan Aningsih. Mata Aningsih sampai
terpejam-pejam, menelan seluruhnya sampai tetes terakhir. Benny setengah
mengeluh memejamkan matanya. Tubuhnya lemas tidak bertenaga. “Oukh, Mbak. Kau
sungguh hebat!” bisiknya.

Aningsih tertawa sambil menyeka mulutnya yang sebagian masih dibasahi sisa-sisa
cairan kental. “Bagaimana, Ben?! Enak?!” tanya Aningsih.

Benny menarik lengan Aningsih, sehingga perempuan itu jatuh ke dalam dekapannya.
“Enak sekali, Mbak. Oukh, enak sekali! Kaupun mampu membahagiakan lelaki!” ujar
Benny.

Aningsih tersenyum mendengar pujian Benny, “Aku haus, Ben. Tolong ambilkan aku
minum di meja itu, dong!” ujar Aningsih.

Benny melompat turun dari tempat tidur, menuangkan Fanta merah dari botol besar
ke gelas sampai penuh. Kemudian memberikannya pada Aningsih. Aningsih meneguknya
dengan lahap. Haus sekali rupanya. Sampai habis tiga perempat gelas. Kemudian
Benny menuangkan lagi ke gelas sampai penuh, kemudian meneguknya sampai habis.

“Benny . . . !” mata Aningsih berkejap-kejap. Punyaku sudah ingin sekali
dimasuki punyamu.” Dan Aningsih melirik ke selangkangan Benny. Senjatanya masih
tegang mengacung.

“Kita istirahat dulu sebentar ya, sayang!” bisik Benny sambil membelai rambut
Aningsih.
T I G A

HANYA SEPULUH menit mereka membutuhkan waktu istirahat. Benny naik ke atas tubuh
Aningsih yang sudah siap menanti. Kedua susunya menyembul putih bagaikan salju.
Benar-benar menantang. Pinggangnya ramping dan pinggulnya mekar dan indah. Benny
menciumi bahu dan payudara Aningsih, sementara bazokanya yang sudah benar-benar
tegang menggeser-geser di paha Aningsih.

Aningsih menggenggam batang bazoka Benny yang sangat kekar. Sambil membalas
ciuman-ciuman Benny yang bertubi-tubi dibimbing dan kemudian ditempatkannya
kepala kemaluan Benny yang sudah membengkak tepat di ambang gua vaginanya.
Sementara itu, kedua paha Aningsih sudah direntangkannya selebar-lebarnya. “Benn
. . . !! Pelan-pelannn, sayanghhh!!” bisik Aningsih gemetar. “Kepunyaanmu besar
sekali!”

Benny mengangguk. Dirasakannya kehangatan menyengat pada kepala zakarnya. “Ayoh,
Benn! Tekan, sayangghh!! Sssshh . . . pelan-pelllaann !!” Aningsih memejamkan
matanya.

Benny mendorong pantatnya. Dan kepala zakarnya pun melesak, dan: “Auww . . .
!!!” Aningsih menjerit tertahan. “Bennnnnn!! Sssaakkhittsss!” dan tubuh Aningsih
mengejang, bergetar menahan rasa perih.

Benny mengerti. Dia tidak main asal tabrak saja. Dinantikannya sampai rasa sakit
Aningsih. Benny merasakan lobang vagina Aningsih menjepit keras, mencekik leher
zakarnya. Adduuuhhh! Bukan main nikmatnya!

“Ayoh, Ben! Tekan lagi!” bisik Ningsih setelah rasa sakit itu hilang.

Benny menekan lagi. Dan srrrt! Dan batang zakar Benny yang luar biasa besarnya
itu melesak lagi sampai sepertiga. Dan sebagaimana yang pertama, Aningsih
tersentak sambil menjerit: “Addduuhhh! Bennn! Ssssaakkhittss ”

“Tahankan, sayang!” bisik Benny sambil tersenyum dan bertulang mengecupi mata
Aningsih yang berlinang. “Nanti kau akan merasakan nikmat yang luar biasa!”

Benny membiarkan zakarnya membenam sampai sepertiga, kemudian ditariknya
perlahan-lahan sampai sebatas leher kemaluannya. Lalu ditekannya kembali
pantatnya. Dan batang bazoka yang luar biasa itupun menggelosor masuk. Lagi-lagi
Aningsih merasakan kemaluan Benny bagaikan membongkar seluruh lorong vaginanya.
Aningsih menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa sakit dan linu. Namun lama
kelamaan, rasa sakit dan linu itu semakin berkurang dan semakin berkurang lagi.
Sebagai gantinya, zakar Benny keluar masuk mulai mendatangkan rasa nikmat luar
biasa. Keluar-masuk. Keluar masuk! Demikian berulang-ulang. Bless! Slessep!
Bless! Slessep! Bagaikan kereta api yang sedang langsir. Tetapi terbatas hanya
sampai separuh saja. Pada waktu didorong masuk, vagina Aningsih sampai kempot.
Dan pada waktu ditarik, sampai monyong . . . Hmmm! Kepunyaanmu enak sekali,
sayang. Sempit sekali. Rasanya hampir lecet kepunyaanku,” kata Benny.

“Kepunyaanmu terlalu besar, Ben,” ujar Aningsih sambil menggoyang-goyangkan
pantatnya. Hal mana semakin mendatangkan nikmat bagi Benny. Demikian pula bagi
Aningsih. Pinggulnya yang besar dan montok itu melakukan gerakan memutar,
seirama dengan keluar-masuknya batang zakar Benntu. “Bagaimana, sayang?! Masih
sakit?!” tanya Benny sambil mengecupi belakang telinga Aningsih. Aningsih
menggelinjang-gelinjang geli.

“Kemaluanmu enak sekali, sayang! Betul-betul lezat.” bisik Aningsih.

“Nah, apa kataku tadi. Rasa sakitmu cuma sebentar, kan?!” ujar Benny. “Kemaluanmu
juga enak, Mbak. Enak sekali!”

“Bennn . . . !!” Ujar Aningsih yang tersenyum bangga, menerima pujian Benny.

“Ada apa?!” tanya Beatty.

“Apakah kepunyaankn betul-betul enak?!”

“Enak sekali, sayang. Kepala zakarku bagaikan dipijit dan disedot-sedot.
Pokoknya lezaaatttss . . . !!” Benny meliuk-liuk ke sana-ke mari. Tenutunya
diapun sedang merasakan kenikmatan yang luar biasa sebagai akibat pijitan-pijitan
dinding-dinding lorong kemaluan Aningsih yang bagaikan hidup. Sementara itu,
cairan lendir semakin membajiri lorong kemaluanku. Semakin licin dan basah.

“Nah. manisku! Lorongmu semakin lancar sekarang,” bisik Benny dengan mesranya. “Bagaimana
kalau kubenamkan seluruh batang zakarku?!”

“Ayoh, sayang! Aku sudah siap,” kata Aningsih sambil mengangkangkan kedua
pahanya lebih lebar.

Dan Benny pun mendorong pantatnya sehingga kemaluannya lebih dalam membenam ke
dalam lobang vagina Aningsih. Blesss! Wow!, Aningsih bagaikan melayang ke langit
ketujuh. Terasa benar bagaimana menggelosornya benda itu. Nikmat sekali. Tetapi
Aningsih jadi agak kecewa ketika Benny menghentikan dorongannya. Batang
kemaluannya yang kukuh bagaikan tonggak itu belum seluruhnya masuk. Aningsih
jadi penasaran dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. “Masukkan semua, Ben!
Sanwa! Jangan disisakan laghhiiiii! Masukkan, dorongghh . . . .!!” kaki Aningsih
menjepit pinggang Benny. Dan tangannya, berusaha mendorong pantat Benny ke bawah.
Benny mengerti, Aningsih sudah histeris. Sudah ingin menikmati seluruh batang
kemaluannya tanpa sisa lagi. Tetapi bukannya mendorong, Benny malah mengangkat
pantatnya. Dan kemaluannya menggelosor ke luar. Aningsih jadi penasaran.
Diangkatnya pantatnya setinggi-tingginya. Bertepatan dengan itu, Benny
mengayunkan pantatnya kuat-kuat. Dan . . . blashhh!! Tanpa ampun, seluruh batang
kemaluannya yang kokoh, indah . . . dan perkasa itu menghunjam dan membenam
sedalam-dalamnya ke liang kemaluan Aningsih. Aningsih menjerit sekuat-kuatnya.
Tubuhnya meronta-ronta ke sana-ke mari, bagaikan sapi disembelih. Dan, “Crot!
Crrrt! Crrrotttss . . . !!” semua cairan mani yang tersimpan di dalam
kandungannya, menyemprot seketika. Banyak sekali. Membanjiri seluruh lobang gua
Aningsih. Suatu kenikmatan luar biasa yang sebelumnya belum pernah dirasakan
oleh Aningsih. Dan bersamaan dengan jeritan Aningsih, Benny pun mengeram kuat.
sambil merangkul tubuh Aningsih kuat-kuat. Aningsih merasakan tubuhnya bagaikan
remuk. Hmmmh!” Akh. Mbak! Hmmm! Akkkkhhhuuu keluarrr, sssh! Mbaaakkk . . . sssh,
ennnnaakhh!!” Benny meracau sambil meronta-ronta. Matanya membeliak-beliak ke
atas, sementara kepalanya terlontar ke sana-ke mari. Dan bersamaan dengan itu,
Aningsih merasakan batang zakar Benny berdenyut-denyut keras dan memuntahkan
lahar panas. Berkali-kali terasa semprotansemprotan itu. Maka lobang kemaluanku
pun semakin membanjir.

Setelah beberapa detik lamanya merasakan dirinya terlontar ke angkasa, Benny
merasakan dirinya lemas. Dan tergulirlah dari atas tubuh Aningsih. Keduanya
merasakan kepuasan amat sangat. Aningsih memijit hidung Benny. “Luar biasa
sekali,” ujar Aningsih. “Kaulah satu-satunya lelaki yang berhasil memuaskanku,
Ben!Sungguh!”

“Aku juga begitu, Mbak. Baru kaulah yang benar-benar memuaskan diriku!” balas
Benny. Lalu keduanya berkecupan dengan mesranya.

Apa yang dikatakan Aningsih memang benar. Dia sudah berpengalaman dengan lelaki.
Namun baru kali inilah mendapatkan kepuasan yang benar-benar aduhai.

Tidak hanya sekali saja mereka lakukan kemesraan itu. Namun berkali-kali. Dan
berbagai pose pula. Model nungging, model berdiri. Model diganjal bantal.
Semuanya memuaskan! Aningsih merasakan kebahagiaan amat sangat. Demikian pula
halnya dengan Benny. “Aku semakin mencintaimu, Mbak!” bisiknya.

Aningsih menggeleng-gelengkan kepala. “Kau belum tahu siapa diriku sebenarnya,
Ben!” ujarnya Aningsih.

“Siapapun dirimu, aku tetap mencintaimu, Mbak!” ujar Benny lagi.

“Aku tidak peduli. Cinta tidak memandang umur. Pokoknya aku mencintaimu, Mbak.
Dan aku ingin memilikimu!”

Aningsih memijit hidung Benny dengan mesra. “Ih, dasar bandel!” ujar Aningsih. “Kalau
saja kau tahu siapa diriku, pasti kau akan membenciku!”

“”Tidak, Mbak. Sungguh! Dengarlah. Diriku sendiripun sudah pantas untuk menikah.
Usiaku sudah dua puluh empat tahun. Aku sudah bekerja. Gajiku cukup untuk hidup
kita berdua. Di samping itu, orang tua aku di kampung sudah sangat mengharapkan
punya cucu dariku. Nah, apa lagi, Mbak?! Apalagi?!”

“Kau ini nggak sabaran sekali, Ben! Kita baru berkenalan, sudah mengajak kawin.
Kau harus tahu, perkawinan itu bukan sekedar barang permainann. Harus benar-benar
melalui pertimbangan yang masak. Kita harus berpikir, apakah kita sudah benar-benar
cocok. Kau belum tahu sifat-sifatku dan akupun belum tahu sifat-sitatmu.
Tunggulah sampat tiba saatnya kita sudah benar-benar siap untuk menikah!

Benny tidak menjawab. Hanya merenung.

“Deagarlah, Ben!” ujar Aningsih sainbil mempermainkan bulu-bulu dada Benny. “Dan
pikirkanlah. Aku ini janda. Bercerai dua tahun yang lalu karena tidak ada
kecocokan. Untung saja akn belumpunya anak. Nah, aku tidak ingin jika nanti aku
harus menjadi janda untuk kedua kalinya. Aku harus berhati-hati!”

“Baiklah, Mbak. Aku . . . aku . . . akan memikirkannya! Akn . . . aku akaa
bersabar menunggu,” jawab Benay.

JAM SATU lewat tengah malam, Benny meninggalkan rumah Aningsih. Sebenarnya berat
sekali harus berpisah. Namun Benny ingat, besok dia harus ngantor. Sedangkan dia
tidak membawa pakaian ganti. Sampai di rumah kostnya, Taate Dewi sendiri yang
membukakan pintu. “Kau dari mana, Ben?! Kok sampai malam sekali pulangnya,” kata
Tante Dewi yang heran atas tingkah Beany. Tidak biasanya Benny pulang di malam
selarut ini. Paling malam, jam sebelas. Benny termasuk kategori orang yang lebih
suka tinggal di rumah daripada kluyuran.

“Ini, Tante. Teman ulang tahun!” ujar Benny seenaknya, sambil terus mendorong
motornya ke belakang.

Tante Dewi menguncikan kembali pintu, kemudian mengikuti langkah-langkah Benny
ke kamar. Baru saja Benny melepaskan sepatunya, Dewi telah memeluknya. Benny! Uf!”
Tante kangen sekali padamu. Seminggu kita tidak berkencan. Sekarang, Oom sedang
ke luar kota. Tadi pagi berangkat!” ujar Dewi sambil mulutnya menghujani bibir
Benny bertubi-tubi.

“Uf! Saya letih sekali. Tante. Lain kali saja!” ujar Benny sambil berusaba
menghindari ciuman-ciuman Dewi. Tetapi Dewi yang sudah naik spanning, tak mau
peduli. Dewi mendorong tubuh Benny, sehingga lelaki itu tergelimpang ke alas
tempat tidur. Dengan tergesa, Dewi cepat sekali mcmbukai hemd Benny. Sesaat
kemudian, hemd itu telah melayang kc lantai. Menyusul celana panjang, dan celana
dalamnya. Kemudian dengan tergesa pula, Dewi melepaskan dasternya sendiri.

Dewi, perempuan yang walaupun telah berusia di atas tiga puluh tahun itu,
ternyata memiliki tubuh yang aduhai sempurna. Seperti gadis yang berusia dua
puluh tahun saja. Masih sekal dan menggiurkan. Dan Benny yang bertemperamen
panas, sekalipun sudah letih sekali, segera naik nafsu birahinya.

“Benny! Tante sudah sangat rindu. Sudah lama mennnggu kesempatan seperti ini.
Jangan kecewakan Tante, Ben! Bennnnn!!” ujar Tante Dewi merengek-rengek, seraya
menggosok-gosokkan buah dadanya yang sekal padat ke dada Benny yang bidang dan
berbulu lebat. Sementara itu, tangan Tante Dewi meluncur ke bawah dan meremas-remas
milik Benny yang besarnya lebih besar dari pada pisang ambon. Dalam waktu tidak
lama senjata Benny sudah benar-benar tegang. Tegak bagaikan tonggak. Besar dan
panjangnya minta ampun. Tante Dewi yang sudah tidak bisa lagi menahan
keinginannya, melompat ke atas tubuh Benny, Kedua pahanya mengangkang di atas
selangkangan Benny. Digenggamnya senjata yang aduhai itu. Dengan mesranya
dibimhingnya menuju lobnag vaginanya yang sudah menganga, siap menanti datangnya
sang perkasa. Diletakkannya tepat di mulut gua. Kemudian Tante Dewi menekan
pantatnya. Dan: “Ohg . . . !!” kepala kemaluan itu melesak masuk. Blesss! Tante
Dewi nyengir-nyengir kuda, menahan rasa sakit dan linu. “Hnmmhh . . . ehg!”
Bennypun nyengir, menahan nikmatnya kepala kemaluannya digigit dan dipijit-pijit
oleh mulut vagina Tante Dewi yang berkerinyut-kerinyut kencang.

“Oukh, Bennn! Hmmhh . . . ssshhh . . . !!” Tante Dewi gemetar tubuhnya. Tetapi
cuma sesaat. Tante Dewi yang sudah terbiasa menikmati kepunyaan Benny segera
hilang rasa sakitnya. Dan Tante Dewi menekan lagi. Blassssh! ! !” Oukhhhh,
Bennnnnn! Hmhhh . . . enak sekali , sayang hhhhh. Ssssh . . . !!” Mata Tanta
Dewi membeliak-beliak. Batang zakar Benny telah amblas seluruhnya ke pangkal-pangkalnya.
Tanta Dewi merasakan kenikmatan bukan alang kepalang. Demikian pula halnya Benny.
Dinding-dinding vagina Tanta Dewi bagaikan hidup, menekan-nekan batang kemaluan
Benny. Nikmaaaaat! Tanta Dewi menarik lagi pantatnya ke atas. Dan . . . uf!
Seluruh isi bagian dalam lorong vagina Tanta Dewi bagaikan terbongkar bersamaan
dengan menggelosornya zakar Benny. Demikian pula Benny. Lorong vagina Tanta Dewi
bagaikan menyedot-nyedot. Benny mendesah-desah. Tante Dewi bagaikan kesetanan,
menggoyang-goyangkan pantat dan pinggulnya yang besar, montok dan putih itu.
Benny mengangkat pula pantanya, mengimbangi gerakan-gerakan Tante Dewi. Ternyata
dengan posisi ini, cukup mendatangkan kenikmatan juga. Tantea Dewi di atas dan
Benny di bawah. Sambil terus juga dengan bersemangat menaik turunkan pantatnya.
Tanta Dewi menciumi bibir Benny bertubi-tubi. Benny membalas tak kalah semangat.

Lidahnya masuk dan mengait-ngait lidah serta gigi-gigi Tante Dewi yang bersih,
putih dan bagus bentuknya. Sementara itu, tangan Benny pun tidak tinggal diam,
meremas-remas payudara Tanta Dewi yang kenyal, padat dan besar. Tentu saja
dengan remasan-remasan mesra!

Tante Dewi semakin lama semakin kesetanan. Benny pun demikian pu1a. Keduanya
merasakan ada sesuatu yang mendesak-desak darl dalam diri mereka. Semakln lama
desakan-desakan itu semakin kuat sehingga membuat napas mereka tersendat-sendat.
Ibarat orang yang sedang mendaki bukit untuk mencapai puncak. “Ehb, Bennn . . .
!!!”

“Hmnmh! Sssh . . . oukh, Tante! Cepat dikit, sayang! Ayoh, Tante!”

“Bennnn! Sash . . . eng! Ennaaaaaakhh, say . . . !!”

“Sssst! Hmmmh . . . !!”

“Bennnn! Akh! Akhhuu mau keluarrrr . . . say!”

“Sayyyaaa jugghaaa, Tan . . . ! Oukh! Ayoh, Tantea! Putar terus! Semangat, Tante!
Semangat! Oukh . . . !!”

“Bennnnn !!!” Tante Dewi semakin kesetanan. Tangannya mengerumasi dada Benny,
sehingga Benny kesakitan. Namun bercampur enak. Demikian pula dengan tangan
Benny. Membantu pantat dan pinggul Tanta Dewi. Disaat menurunkan pantatnya,
Benny membantu dengan menekankan pantat Tanta Dewi kuat-kuat ke bawah. Blasssh!!
Maka tanpa ampun, amblaslah seluruh zakar Benny ke dalam kemaluan Tante Dewi.
Masuk ke pangkal-pangkalnya!

“Bennnnnnn!!” Tante Dewi meronta-ronta di atas tubuh Benny.” Ennnaaakhh, Bennn!
Akkhhuuu tak kuatttsss laggghhhi, say!! Akhhu kelluuuuarrr! Ssssh . . . akkkhhhh
. . . !!” bersamaan dengan jeritan Tante Dewi, tubuh perempuan itu berkelojotan
ke sana-ke mari. Kedua kakinya menyepak-nyepak. Tante Dewi mencapai puncak
kenikmatan sempurna, yang tidak pernah diperolehnya dari suaminya yang setengah
impotent. Benteng pertahanannya bobol! Bertubi-tubi bagian dalam lobang
vaginanya menyemprotkan cairan kental, hangat dan licin.

Secara hampir bersamaan pula Benny pun mengeram keras. Bagaikan harimau lapar,
Benny memeluk Tante Dewi kuat-kuat. Dan kemudian dengan sigap, Benny membalikkan
tubuhnya, sehingga tubuh Tante Dewi yang berada di bawah. Benny menekan kuat
sehingga Tante Dewi gelagapan. Batang zakar Benny berdenyut-denyut keras. Dan
cairan kental, hangat dan licin pun bertubi-tubi pula menyembur, membanjiri
lorong vagina Tante Dewi yang memang sudah banjir!

Tante Dewl tergelincir dari atas tubuh Benny. Terkulai lemas. “Bennnn! Oukh, aku
puasss sekali!” bisik Tante Dewi sambil memeluk Benny dari samping.

Benny tak menjawab. Memandang langit-langit. Batang zakarnya masih tegak. Basah
dan licin bekas-bekas cairan kenikmatan mereka berdua. Tante Dewi menciumi Benny
bertubi-tubi. Tangannya meluncur ke bawah dan mulai mengurut-urut batang zakar
Benny yang kehitaman. Rupanya Tante Dewi termasuk perempuan bertemperamen panas
juga. Nafsunya menggebu-gebu. Merupakan pasangan setimpal dengan Benny. Diurut-urut
terus oleh Tante Dewi mesra, nafsu Benny bangkit kembali. Napas Benny mulai lain.
Tante Dewi senang sekali. Dia melompat dari sikap berbaringnya.

“Ayoh, Bennn! Timpah aku dari belakang!” ujarnya sambil mengambil posisi
nungging. Pantatnya yang besar dan montok itu diacu-acukan ke depan. Melihat
pemadangan yang sangat merangsang itu, Benny, tak kuat lagi menahan diri. Dia
melompat ke belakang pantat Tante Dewi. Dengan bernafsu, Benny meremas-remas dan
menggigiti bungkalan pantat Tante Dewi yang bundar dan putih. “Ayoh, Ben! Timpah
aku! Hantam, Bennnn! Hantam! Jangan sungkan-sungkan! Lakukan saja sekehendakmu!”

Ditantang seperti itu, tentu saja Benny yang berdarah jantan dan panas, tidak
akan mundur. lnilah yang membuat Tante Dewi senang; sekali. Benny benar-benar
kuda. Berapa kalipun melakukan sanggama, dia tetap siap. Tidak seperti
kebanyakan lelaki-lelaki lain, yang sudah loyo hanya baru sekali atau dua kali
bertempur saja.

Benny mengambil posisi di belakang tubuh Tante Dewi yang nungging. Digenggamnya
batang zakarnya yang sudah siap tempur. Diselipkan diantara belakang kedua paha
Tante Dewi, dan kemudian menerobos bibir-bibir kemaluan Tante Dewi yang mencuat
dan sudah terbelah. Dan, “Ehg . . . !!” Tante Dewi menahan napasnya. Kepalanya
menyentak ke atas. Walaupun sudah terbiasa, mencicipi kepunyaan Benny, namun
pada saat pertama kali kepala kemaluan yang bengkak itu menyelip, selalu Tante
Dewi merasa kaget dan sedikit sakit!

“Ayoh, Ben! Aku sudah siap . . . !!” ujar Tante Dewi dengan tubuh sedikit
bergetar, menahan berat tubuh Benny yang memeluk pinggangnya dari belakang.
Tante Dewi lebih menunggingkan pantatnya, sehingga bukit kemaluannya yang sudah
bengkak itu semakin mumbul. “Hantammm, Bennnnn!” ujar Tante Dewi yang seolah-olah
komandan memberikan aba-aba pada anak buahnya untuk bertempur.

Benny segera melakukan tugasnya. Mengayun pantatnya. Dan batang zakar yang
segede alaihim itupun menggelosor masuk, menerobos belahan daging kemaluan Tante
Dewi dari belakang. Tante Dewi meringis-ringis, merasakan nikmat yang tidak
bertara. Seluruh urat-urat tubuhnya bagaikan mengembang. “Terus, terus Bennnn!
Semuanya, sayangghhh . . . !! Jangan disisakan! Semuanya . . . oukhhhhh!!” Tante
Dewi merintih-rintih dengan suara sengau.

Benny merasakan hangat menyengat dan pijitan-pijitan lembut dinding-dinding
vagina Tante Dewi membuat nafsunya semakin bergelora. “Oukh, Tante! Enaakhhh
banget, khoook?!” Benny menggumam dengan mata merem melek. Pada waktu senjata
Benny menggelosor masuk, Tante Dewi mengangkat pantatnya tinggi-tinggi,
menyambut terobosan maut yang sangat mesra itu. “Ayoh, Bennnn! Hantammm terus!
Yang keras, sayang! Kerassss, Bennnn! Kerasssshhhh . . . !!

“Tante Dewi mcnggoyang-goyangkan dan memutar-mutar pinggul dan pantatnya dengan
mesra sekali. Pada waktu Benny menarik senjatanya, Benny agak sedikit menekan
pantatnya, sehingga Benny merasakan batang zakarnya yang luar biasa itu bagaikan
dipulir-pulir. Oukh, nikmatnya! Bukan main! Inilah yang membuat Benny terkesan
oleh Tante Dewi!

Sebagaimana yang pertama, kali inipun keduanya sama-sama menyemprotkan cairan
kenikmatan. Banyak sekali. Tante Dewi tersenyum-senyum bahagia. Oukh, Benny
benar-benar hebat. Tante Dewi sudah beberapa kali menyeleweng dengan lelaki-lelaki
lain, dikarenakan suaminya tidak dapat memberikan kepuasan. Namun diantara
lelaki-lelaki itu, hanya Benny yang dapat memberikan kebahagiaan sempurna. Dan
sejak Benny kost di rumahnya pada beberapa bulan yang lalu, Tante Dewi tidak
pernah main dengan lelaki-lelaki lain.

“Bennnn! Jangan tidur dulu! Aku . . . aku . . . masih kepingin, sayang!” bisik
Tante Dewi.

“Ih, Tante kayak kuda betina saja!” kata Benny sambil memijit hidung Tante Dewi.

“Dan kau kuda jantannya!” Tante Dewi tertawa kecil sambil menarik lengan Benny.
“Ayoh Ben! Kita bertempur sambil berdiri!”

Demikianlah, sampai pagi, mereka terus bertarung. Entah berapa kali, tak
terhitung. Keduanya akhirnya sama-sama menggeros kelelahan setelah matahari
terbit. Namun sama-sama puas. Hari itu, Benny tidak ngantor. Tenaganya terkuras
habis!
E M P A T

BILAMANA BENNY membuka matanya, ternyata matahari telah naik tinggi. Sinar
mataliari yang menerobos dari ventilasi, jatuh tepat ke wajah Benny. Terasa
panas. Benny melompat! Bekker di kamarnya telah menunjukkan pukul sebelas. Oukh!
Tadi sebelum tidur, tenaganya benar-benar habis. Namun sekarang, Benny kembali
segar. Sesegar bunga yang baru mekar. Inilah kelebihan Benny yang sangat
disenangi perempuan-perempuan yang haus kasih sayang!

Pada saat sedang duduk di pinggiran tempat tidur, Benny mendengar suara
cekikikan perempuan. Benny mengenali salah seorang diantaranya. Suara tawa Tante
Dcwi. Tetapi siapa seorang lagi ! Benny bangkit dari duduknya dan ke luar dari
kamar.

“Nah, dia sudah bangun . . . ! suara Tante Dewi. “Bennnnn! Kenalkan, nih! Teman
Tante, Zus Mia!”

Benny mengulurkan tangannya menyalami Zus Mia. Wah, bukan main. Benny sampai
terpana. Cantiknya selangit. Apalagi dengan rambut di potong pendek, model
lelaki. Diam-diam Benny berkata dalam hatinya: Bagaimana sih rasanya perempuan
seperti Zus Mia. Enak tentunya!

“Maaf, Zus ! Saya mandi dulu,” ujar Benny.

“Silahkan,” jawab Zus Mia.

Setelah Benny berlalu ke kamar mandi, Tante Dewi menjawil Zus Mia seraya katanya:
“Kelihatannya Benny naksir kamu, Mia!”

“Kayaknya sih begitu!” balas Mia.

Benny mandi puas-puas. Tubuhnya terasa semakin segar lagi. Bila Benny memasuki
kamarnya setelah selesai mandi, Benny terkejut sekali. Tante Dewi dan Zus Mia
sudah terlentang di tempat tidurnya dalam keadaan merangsang, tanpa busana!
Tetapi hanya sekejap Benny terkesiap. Segera dia melepaskan handuk yang membelit
tubuhnya. Benny dalam keadaan telanjang bulat, menyergap Zus Mia yang terlentang
di pinggiran tempat tidur. Zus Mia membalas. Agak malu-mau. “Ben!” ujar Tante
Dewi. “Aku sering menceritakan tentang dirimu pada Zus Mia. Zus Mia terkesan.
Dan ingin pula mencicipi kejantananmu yang perkasa itu!” kata Tante Dewi.

“Betulkah itu, Zus!” tanya Benny.

Zus Mia mengejap-ngejapkan matanya. “Eh . . . tidak ! Eh, iyyaa! Tetapi nggak
apa-apa, kan! Kamu bersedia, kan ! Memberikan kebahagian padaku!” ujar Zus Mia
agak gagap.

“Tentu saja! Siapapun akan siap memberikan kebahagiaan pada Zus Mia yang
cantiknya selangit begini!” kata Benny.

Zus Mia tertawa-tawa kecil ketika Benny mengecupi bibir dan seluruh wajahnya
bertubi-tubi. Mendapat giliran pula lehernya yang jenjang merangsang. Lalu
pentil-pentil susunya yang tegak merangsang. Uf! Ternyata menggeluti Zus Mia
mempunyai keasyikan tersendiri. Buah dadanya lebih besar dan lebih padat pada
millk Tante Dewi. Pentil susunyapun lebih besar dan merangsang! Demikian pula
bukit kemaluannya. Lebih mumbul. Hanya saja, rambut kemaluannya tidak selebat
milik tante Dewi dan Aningsih!

“Bennnnn! Ehg. Aukhhhh . . . !!!” Zus Mia menjerit sejadi-jadinya bilamana
kepala zakar Benny yang bengkak dan besar itu menyeruak lobang vagina Zus Mia
yang sangat kecil dan sempit. Zus Mia merasakan sakit amat sangat. Ini dimaklumi,
karena Zus Mia belum pernah merasakan senjata yang besarnya seperti kemaluan
kuda !

“Bennnnnn ! Ssssakkkittthhhsss . . . !!” kata Zus Mia berkelojotan.

“Tahankan, Mia. Tahankan!” ujar Tante Dewi sambil. memegangi keclua kaki Zus Mia.
“Nantipun kau akan merasakan enak. Tahankan, sayang !”

Benar saja. Kalau tadi, Zus Mia merasakan sakit luar biasa, lama kelamaan rasa
sakit itu hilang, berganti dengan rasa enak luar biasa. Sudah tentu Zus Mia
senang sekali, Gerakan-gerakan memutar pantat dan pinggulnya sungguh romantis,
seirama dengan ayunan-ayunan pantat Benny yang naik turun dan sesekali melakukan
gerakan memutar yang aduhai. “Oukh., Bennnn! Ennnaakhhh, sayangghhhh . . . !”
demikian ujar Zus Mia berulang-ulang.

Benny tersenyum sambil terus juga memnyerbu bukit kemaluan Mia yang indah
menantang. Tante Dewi yang menyaksikan adegan itu jadi terangsang. Segera dia
berdiri, mcngangkangi kepala Zus Mia. Ditariknya kepala Benny. Benny mengerti.
Tante Dewi ingin agar Benny mengerjai kemaluan Tante Dewi dengan mulutnya. “Ayoh,
Bennn! Ciumi punyaku ! Aku juga sudah tidak tahannhhhh . . . !” ujar Tante Dewi
dengan suara sengau tak menentu.

Benny melakukan dua macam kesibukan. Sementara kemaluannya menerobos keluar
masuk belahan daging Zus Mia, mulutnya dengan mesra menciumi bukit kemaluan
Tante Dewi yang sudah mekar menantang.

“Bennnn ! Aukhhh! Terruusssh, Bennnn! lyyyyaaakhhh . . . ! “Zus Mia terus
meracau.

“Addduuuuh, Bennnn ! Enaknyaaa! Terrusssh. sayangghhh! Kelentitnya, Bennnn !
Iyyyaaahhhh! Nah, itu, tuuuuuh! Uf! Hmmm, . . . nyem! Nyem! Gigit, Bennnn!
Gighhhiuitttssss . . . !!” Tante Dewi juga meracau sambil menekan belakang
kepala Benny, sehingga hidung dan mulut lelaki muda itu masuk seluruhnya ke
belahan kemaluan Zus Mia yang mekar semekar-mekarnya.

“Besssss!”

“Sleessep!”

“Blessss!”

“Ahk . . . ih!”

“Oukh . . . !!”

“Hmhhh !!”

Berbagai suara, ditingkah dengan berkecipaknya zakar Benny yang timbul tenggelam,
terdengar sangat merdu dan mesra. Mulut vagina yang sempit itu ikut monyong
ketika Benny menarik senjatanya dan sampai kempot melesak ke dalam pada waktu
Benny mengamblaskan zakarnya. Lama mereka bertarung mati-matian, sampai akhirnya
Tante Dewi yang terlebih dulu kejang. Tante Dewi menekan belakang kepala Benny
sekuat-kuatnya, sambil menjerit histeris.

“Bennnnn!AkhhhuUUu kelluarrr . . . !!! Sshhh . . . akkkkhhh . . . !!” dan Tante
Dewi sambil setengah berdiri, meliuk-liuk seperti orang kesetanan ! Kepalanya
terlempar ke sana-ke mari. Dengkulnya gemerar sekali. Punggunya setengah menekuk,
bagaikan udang tangannya meremas-remas dan menjambak jambak rambut benny sampai
lelaki itu merasa sakit. Namun bercampur kenikmatan. Pada saat itu pula. Benny
merasakan semburan-semburan lahar panas dari dalam lorong vagina Tante Dewi.
Banyak sekali. Kental dan licin. Benny bagaikan orang yang haus, dengan rakus
meneguk semua cairan itu. Tanpa tersisa lagi. Terasa gurih dan harum!

Tante Dewi segera jatuh tergelimpang dengan lemasnya.

Namun penuh puas!

Benny masih bertarung dengan Zus Mia. Dua menit setelah jatunhnya Tante Dewi,
Zus Mia menjerit-erit histeris. Tubuhnya berkelojotan, seperti ayam disembelih.
Menggelepar-gelapar. “Oukh, Bennnnn! Akhhuuuu keluarrrhhhh!!! Ssshhh, Bennn!
Akkhhh! Ennnnnaaakhhhh !!! dan Zus Mia tidak lagi mampu mempertahankan
bentengnya. Bobol seketika. Lahar menyembur-nyembur. Mata Zus Mia terbeliak-beliak.
Cuma kelihatan putihnya saja. Kuku-kukunya yang panjang-panjang itu, mencakar-cakar
punggung Benny sampai berdarah!

Zus Mia segera lemas setelah mencapai puncak kenikmatan. Namun Benny sendri
belum, Benny masih terus menaik turunkan pantatnya dengan bersemangat. “Oukh,
Ben! Akkhhuuu lemassss Lettttiih Isti . . . rahattsss duluuu, Bennnnn! !!” Zus
Mia merintih-rintih.

“Sebentar, Zus. Tanggung, nih! Mau enak, Zus! Tahankan!” ujar Benny tersendat-sendat.

“Ampun, Bennnn!Ampunnnnn! !!”

Tetapi mana mau Benny mempedulikan rintihan-rintihan Zus Mia. Malah Benny
semakin ganas dan bersemangat menghujamkan batang kemaluannya. Zus Mia meronta-ronta.
Benny menekan tubuh Zus Mia dengan tangannya. Dan zakarnya terus juga bekerja.
Blassssh! Slesssepsss!Srrrt! Blassshhhh ! !!” Ampun, Bennnn ! Ampunnn !”

“Sebentar, Zus . . . !!”

Dari letih, lemas dan tidak bertenaga, akhirnya Zus Mia jadi bernafsu lagi,
karena bukit kemaluannya terus menerus diserbu habis-habisan oleh zakar Benny
yang perkasa. Dan Zus Mia pun mulai menggoyanggoyangkan pinggulnya, memutarmutar
romantis. “Bennnnn, . !! Uukh, kau sungguh perkasa dan pintar. Aku jadi nafsu
lagi. Enak lagi, Bennnnn!!” Zus Mia mengerumasi rambut Benny. Dan merekapun
terus bertarung, mendaki bukit yang terjal.

Lima belas menit kemiudian, barulah keduanya mencapai orgasme secara bersamaan.
“Zusssshhhh! Akkkhhuuuu kelluuuarrr, ssshhh . . . ! Akkkkhhhh !! Oukh !!” dan
Benny menggeram hebat bagaikan harimau lapar bertemu lawan. Kedua lengannya yang
kekar memeluk dan menekan tubuh Zus Mia sekuat-kuatnya, sehingga Zus Mia
merasakan tubuhnya remuk seketika. “Oukh, Ben! Akhhhuuu jughhhaaa kelluarrr . .
. sssh, akhhhhh !!” Banjirlah lorong vagina yang sempit itu, sehingga sebagian
menetes-netes ke luar, membasahi sprei. Semprotan-semprotan bertubi-tuhi telah
menyemburkan cairan yang luar biasa banyaknya, saling bercampur kental, hangat
dan licin! Hmmmmmh, benar-benar sorga dunia!

Benny segera tergelincir dari tubuh Zus Mia. Tante Dewi yang sudah mendapatkan
istirahat cukup setelah menyemprotkan cairan mani, naik spanning. Dia tidak
memberikan kesempatan pada Benny untuk beristirahat. Ditariknya lelaki itu dari
tempat tidur. “Ayoh, Bennn! Kerjai aku sambil berdiri. . . . !!” ujar Tante Dewi
yang sudah-tersengal-sengal bernafsu!

Benny bukanlah Benny kalau dia tidak mampu melayani tantangan perempuan secantik
Tante Dewi. Dasar mesin tokcer, sekalipun tanpa istirahat, Benny sanggup untuk
bertarung lagi. Dalam keadaan berdiri, Benny menekan tubuh Tante Dewi ketembok.
Sebelah paha Tante Dewi diangkatnya tinggitinggi, sehingga memperlihatkan
belahan kemaluan yang sudah mekar semekar-mekarnya. Benny lalu mengunjamkan
senjatanya ke belahan yang amat menawan itu. “Oukh, Bennn!! Ennnaaakhhhhh!!”

Pertarungan sengit sambil berdua itu dimenangkan oleh Benny. Tante Dewi lebih
dulu mengeluarkan cairannya dan segera merosot jatuh lemas ke lantai. Benny
penasaran, karena belum mencapai puncak kenikmatan. Senjatanya maslh
tegangtegangnya. Benny melihat Zus Mia masih berbaring dengan kedua paha
terkangkang selebar-lebarnya. Maka Benny segera menubruknya. Dan pergumulanpun
terjadi. Semakin dahysat dari pada yang sudah-sudah!

Demikianlah berganti-ganti Benny mengerjai kedua perempuan cantik itu. Benny
benar-benar kuda jantan yang patut diacungi jempol. Tante Dewi dan Zus Mia benar-benar
merasa puas. Bahkan Zus Mia lebih gawat lagi, ingin memiliki Benny seutuhnya!

Namun secara jujur, Benny harus mengakui, bahwa diantara sekian banyak perempuan-perempuan
yang pernah digaulinya, hanya dengan Aningsih Benny merasa puas. Benar-benar
kepuasan sempurna. Tante Dewi enak. Zus Mia lebih enak dari pada Tante Dewi.
Namun kepunyaan Aningsihlah yang terlebih enak! Maka Benny tidak dapat melupakan
Aningsih!

Harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Betapa kecewanya Benny ketika mendatangi
rumah Aningsih pada beberapa hari kemudian, ternyata Aningsih sudah pindah
menempati rumah sendiri. Baru dibelinya ! Ujar teman sekamar Aningsih.

“Pindah ke mana, Zus!” tanya Benny penasaran.

“Maaf! Saya tidak dapat memberitahukan. Ini atas kemauan Aningsih sendiri!”

“Lho, mengapa begitu!” tanya Benny makin penasaran. “Saya sendiri tidak tahu,”
teman sekamar Aningsih mengangkat bahu.

Benny menghempaskan napasnya. Mengapa Aningsih bersikap aneh begitu ! Disaat
rindu sedang menggebu-gebu, dia menghilang,. Padahal aku dan dia baru saja
berkenalan, demikian kata hati Benny. Dengan lesu benny minta diri dan
meninggalkan rumah Aningsih. Kemana dia ? Mengapa dia tidak mau memberitahukan
tempat tinggalnya yang baru! Apakah dia membenciku ! Apakah aku telah melakukan
kesalahan fatal sehingga dia tidak mau memaafkanku! Benny mengerumas rambutnya
setelah tiba di tempat kostnya. Aningsih! Mengapa kau begitu cepat menghilang,
padahal aku benar-benar sangat merindukanmu! Hanya kaulah yang mampu memberikan
kepuasan yang sempurna padaku. Tidak perempuan-perempuan lain! Dan untuk
kesekian kalinya, Benny meremasi lagi rambutnya dengan resah. Bertepatan dengan
itu, pintu terbuka. Masuklah Tanta Dewi. “Kau kelihatannya resah sekali, Ben!”
bertanya Tanta Dewi.

“Saya sedang pusing, Tante . . . !!” ujar Benny malas-malasan.

Aningsih dengan sengaja seolah-olah menghindari Benny, pada hal perempuan itu
mengakui, telah memperoleh kebahagiaan sempurna dari Benny. Mengapa bisa
demikian ! Benarkah Aningsih membenci Benny! Benarkah Benny telah melakukan
kesalahan fatal, sehingga Aningsih tidak dapat memaafkannya !